Rabu, 10 Februari 2010

bukan ribuan, Jutaan ton Iles-iles dikirim ke jepang

Masa kecil saya penuh dengan cerita jaman dulu orangtua, Ibu saya menceritakan bagaimana masa kecil beliau dihabiskan di sekolah dengan menyanyikan "kimigayo" dan acara rutin mereka adalah "taiso" - senam pagi. Kegiatan belajar masa pendudukan Jepang adalah mencari iles-iles. Tanpa diberi tahu untuk tujuan apa, - semua murid- tanpa kecuali harus mencari iles-iles (Amorphophallus spp), yaitu sebangsa umbi-umbian yang hidup liar di kebun, hutan dan ladang di pedalaman pulau Jawa. Selain itu setiap rumah diharuskan membuat lubang 1 x 1 x 1 meter persegi untuk membuat kompos, yang setiap beberapa bulan dikumpulkan yang juga entah untuk apa. Kegiatan mencari umbi Iles-iles ini berlangsung tanpa henti, demikian pula kegiatan menanam pohon Jarak. Ternyata dari beberapa catatan, memang kegiatan pengumpulan umbi ini juga dilakukan di sepanjang Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dan belakangan ini, sejak tahun 1962  seorang veteran Jepang  kembali ke Indonesia serta  mendirikan pabrik yang mengolah bahan baku makanan favorit di Jepang " kentang Konyaku" atau konjac. Di Jepang sendiri sejak tahun 1963, para pedagang yang menyediakan bahan baku umbi ini bergabung dalam Asosiasi Konnyaku Jepang, yang tugasnya menjamin ketersediaan pasokan umbi ini untuk bahan pangan di Jepang. Di Jepang sendiri bahan makanan ini sangat populer, dalam bentuk 3 produk turunan: shirataki kering, shirataki basah, dan konyaku. Yang disebut pertama persis mi; konyaku  seperti tahu. Untuk membuat penganan itu, umbi porang dan iles-iles dicuci bersih dan diiris  tipis-tipis sekitar 0,5 cm. Setelah kering ketebalannya menjadi hanya 0,2 cm dibikin tepung yang disebut glukomannan  . sedang di Pulau Jawa bahan bakunya yaitu umbi Iles-iles itu tadi yang kemudian dikenal variannya dengan umbi porang, tumbuh liar di hutan sejak ribuan tahun lalu. Belum pernah ada penelitian yang menyebutkan besar maksimal umbi ini, karena sifatnya yang seperti umbi-umbian lain, jika daun dan batangnya tidak muncul, maka keberadaan umbinya tidak akan diketahui.

Budidaya umbi ini di Jepang dilakukan secara intensif, bahkan khusus ditanam di area tertentu dengan pengawasan khusus pula.Pemanfaatan umbi ini oleh penduduk Indonesia, dikenal sejak jaman dulu, di Jawa dikenal dengan nama "Iles-iles" di Sunda dikenal dengan "Ileus", namun jarang dipakai sebagai bahan makanan karena efek sampingnya, yaitu bila umbi kupas terkena air dan langsung bersentuhan dengan kulit akan terasa gatal. Oleh sebab itu pada jaman jepang - sulit mendapatkan bahan makanan- iles-iles jadi sumber pangan selain umbi gadung dan umbi-umbi asli lokal lainnya.
Di Jepang makanan berbahan dasar konjac ( iles-iles ) sangat popular, mungkin aroma "aneh" seperti ikan asin itu yang membuat mereka suka pada umbi ini, harganya juga luar biasa mahal, salah satu penjual online menawarkan "kentang konyaku" kemasan dengan harga 1 kg = 1.115 Yen ..waw.......

 
  
  
  

 



Yang mengejutkan, di tempat asalnya - madiun - umbi iles-iles basah dihargai tidak lebih Rp.800 - Rp 1000,- dari petani yang mengumpulkan umbi itu dari hutan yang dikelola Departemen Kehutanan, ..keterlaluan..

2 komentar:

  1. jenis di jepang beda dgn kita, memang bisa cuman diberi larutan kapur, terus dicetak. punya kita ngak bisa, harus dicuci berulang-ulang utk membuang kristal kalsium oksalatnya. krn gatal dan bisa bikin gagal ginjal. Jadi pengolahannya hrs baik. saya masih juga meneliti, agar prosesnya lebih murah, sudah bisa sih tdk gatal, namun krn ada aspek bisnisnya mhn maaf ngak bisa nulis scr terbuka. prosesnya masih mahal. semoga kita bs ngalahkan Jepang. mrk sdh minta saya 15 ton/bulan, saya blm bisa juga ekspor ke mrk. wass

    BalasHapus
  2. Makasih sudah mampir Prof,

    semoga risetnya berhasil..amin

    BalasHapus