Minggu, 03 Februari 2008



Sengketa pilkada

buah dari pohon demokrasi barat + komplikasi pilihan lurah ala jawa


Seorang anggota DPR dari komisi II ,fraksi PAN, Andi Juliani Paris, menyatakan dengan tegas bahwa carut marut sengketa pilkada belakangan ini di beberapa daerah di Indonesia adalah lemahnya pengawasan oleh para pemilih terhadap sistem yang dibuat oeh KPUD/KPU, yaitu potensi kecurangan suara yang berasal dari perbedaan jumlah pemilih yang berasal dari DPS (daftra pemilih sementara) sebelum menjadi daftar pemilih tetap yang berasal dari daftar dinas kependudukan dan capil.


Satu hal mendasar dimana pemilih di Indonesia tidak mendapat sanksi bila tidak mencoblos, tidak seperti di australia, maka jumlah DPS yang selanjutnya menjadi daftar pemilih tetap adalah jumlah yang tercantum dalam proses penghitungan suara pilkada nantinya. Pelaksanaan pendaftaran pemilih dilakukan dari bawah, di tingkat kelurahan rt/rw, selanjutnya naik ke kecamatan dan kemudian ke dinas kependudukan dan Capil.

Rawannya daftar pemilih yang “diotak-atik “ oleh pihak2 yang berkepentingan untuk memenangkan pilkada, membuat bertambah runyam keadaan.


Hal lainnya adalah kemungkinan adanya transaksi suara, yaitu praktik penyuapan yang dilakukan tim sukses kepada calon pemilih untuk memberikan suara kepada calon tertentu.

Pada tataran ini yang menjadi faktor kritis adalah sikap mental calon pemilih itu sendiri, apakah suara mereka dapat dibeli dengan jumlah nominal uang , atau sejumlah barang, atau janji politik tertentu


Istilah “money politic” yang santer belakangan ini, bukan hal baru di dunia pemilihan kepala daerah tingkat desa – KHUSUSNYA DI PULAU JAWA- , sejak entah orde kapan , pemeo “jago” dan “botoh” adalah hal yang kental sekali muncul pada saat menjelang pilkades.

Jago adalah masing2 calon kepala daerah yang dicalonkan. Botoh adalah perwujudan tim sukses, yang terdiri dari satu tokoh kharismatik ; mantan petinggi desa dengan dukungan massa dan dana tertentu yang berniat menggolkan calon kadesnya / petinggi yang diinginkan, beserta tim pendukung calon kades.

Botoh ibarat Dirigen yang mengatur tinggi rendahnya suara musik dalam konser, kapan waktunya pelan kapan waktunya menghentak dan kapan waktunya klimaks.


Diantara keduanya inilah, “jago” dan “botoh”, para penikmat judi –bermain-, manganalisa masing2 calon dan tim suksesnya, kekuatan massa dan dukungan dananya, lalu menjadikan pilkades ibarat arena adu jago, MEMASANG TARUHAN untuk masing2 jagonya.

INI potret DEMOKRASI ALA JAWA, menjadikan momen pemilihan seperti ini sebagai waktu yang ditunggu2, sebagai saluran pelepasan ;katup pengaman


Jabatan “bayan” dalam pemerintahan desa, dengan dukungan botoh yang berpengalaman, akan mewujud dengan “biaya politik” sekitar Rp 200.000.000 untuk kurs tahun 2005.

Biaya politik yang dimaksud adalah besarnya dana yang dikucurkan untuk “membeli suara “ dari tokoh2 masyarakat yang manjadi panutan para pemilih di tingkat akar rumput.

Tokoh2 ini akan meyakinkan “pembeli suaranya” ,bahwa akan menyumbang sejumlah suara, dan dari sejumlah tokoh2 seperti ini akan didapat kemungkinan angka2, seperti layaknya survai2 dewasa ini yang mampu meramalkan siapa yang akan jadi pemenang sebelum pilkades resmi dilakukan.


Perhitungan diatas kertas akan menjadi taruhan terbesar masing2 botoh, sebelum muncul “TEROBOSAN BARU” di bidang perebutan suara pemilih , yaitu istilah “ serangan fajar”, dimana terjadi pengalihan suara kepada calon yang tidak diduga, pada saat2 menjelang pilkades dilakukan.


Muncul profesi jasa broker suara, profesi yang dimungkinkan dengan adanya peluang “serangan fajar “ ini. Broker ini ibarat floating mass agent yang hanya loyal kepada balon yang mau membayar lebih tinggi suara mereka.


terobosan baru” ini mengemuka sejak PILPRES 2004, dan terbukti sukses luar biasa, gejala yang semula hanya bergaung di tingkat lokal jawa, naik tingkatan ke level nasional dan menjadi “role model” serta “benchmarking”, ibarat resep manjur buat Balon Kada ( Bakal Calon Kepala Daerah)


dapat terbayangkan betapa riuh rendahnya suasana pilkades di pulau Jawa, sarat dengan suap yang menjadi “pemanis” pengundang “semut “ berpindah ke lain hati tanpa konsekwensi moral apapun kecuali kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar